Breaking News

Selasa, 26 April 2016

Pernikahan Anisah

                  
            Dua minggu lagi adalah hari pernikahan Anisah putri satu-satunya Bapak Pramono, juragan sapi yang sudah terkenal, dari kampung ke kampung. Bukan hanya terkenal karena kekayaannya saja melainkan terkenal karena, Pak Pramono di jadikan sesepuh desa, karena kebaikan hatinya menolong orang-orang yang sedang kesusahan. Tidak di situ saja bila ada warga kampung yang mau mengadakan hajatan ingin memotong kerbau atau sapi Pak Pramono tidak segan-segan menjual sapi atau kerbau dengan bayaran di akhir hajatan.
Cerpen " Pernikahan Ansah "

            Tradisi memotong kerbau atau sapi memang sudah turun temurun dari nenek moyang, di kampung Kasocikal Doro, bila ada hajatan, yang mengadakan hajatan itu orang kaya dan  terpandang  tidak segan-segan menyembelih hewan ternak barang seekor atau dua ekor.
            Rumah Pak Pramono sedikit berantakan, karena baru renovasi sana-sini, maklum mau mantu, tembok dan jendela baru saja selesai di cat, barang-barang yang telah usang diganti dengan yang baru. Malam itu Pak Pramono terlihat gusar, karena dua minggu lagi Anisah akan menikah, sedianya orang kampung seperti Pak Pramono yang mempunyai anak perempuan bila akan menikah kurang dua minggu sudah ada acara seserahan, yaitu datangnya keluarga calon mempelai pria ke rumah calon mempelai wanita, dengan membawa uborampe atau perlengkapan untuk keperluan di hari pernikahan, seperti segala sesuatu yang di butuhkan oleh wanita.
            Ada seperangkat pakaian kebaya, seperangkat pakaian dalam, tas, sepatu, sandal, alat-alat kosmetik, dan tidak ketinggalan tentunya uang, untuk membayar penghulu, juru rias, dan lain sebagainya, tidak ketinggalan pula seperangkat perhiasan, dari mulai kalung, gelang, cincin, semua itu di berikan pada saat pernikahan kurang dua minggu, khususnya bagi orang-orang kaya dan berada. Bu Menik tidak kalah gusarnya dari tadi ia mondar-mandir dari dapur keruang tamu, dari ruang tamu kedapur, sampai-sampai mata Pak Pramono lelah melihatnya, dan menyuruh istrinya itu untuk duduk.
            “ Bu, lha mbok sini duduk di sini, dari tadi mondar-mandir saja…”
            “ Bapak ini seperti tidak tahu saja bagaimana perasaan ibu ini, bayangkan pak, dua minggu lagi anak kita itu bakalan menikah, tapi kok ya dari calon besan kita tidak ada tanda-tanda, bakalan kesini, ini bagaimana to pak…?”
            “ Memangnya ibu saja yang risau, bapak juga, bapak tak kalah risaunya, sebenarnya keluarga Imron itu bagaimana ya bu…?”
            “ Mana ibu tahu,…?” jawab Bu Menik singkat.
            “ Anisah itu kan, anak kita satu-satunya, anak juragan sapi terkondang di kampung ini, lha kok kalah sama Surtini anak pembantu kita bu, kemarin waktu menikah dapat lamaran sapi, beras dua kwintal, pisang dua keranjang, roti banyak sekali, sampai-sampai kiriman oleh-oleh dari Mundrikah ibunya Surtini itu tidak habis di makan satu minggu.”
            “ Ia… ya…pak, lha anak kita Anisah itu kurangnya di mana? Sudah cantik, soleha, pinter, bahkan sudah sarjana, kok kalah sama Surtini, apa kita batalkan saja pernikahan ini?”
            “ Ngawur ibu ini, apa kita tidak tambah malu, mosso anak juragan sapi Pramono gagal menikah.”
            “ Tapi pak, kenapa anak kita yang satu-satunya itu menikah nggak dapat sapi?”
            Anisah yang mendengar kata-kata ibunya tentang sapi, buru-buru keluar dari kamarnya,dan duduk di dekat ibunya sambil berkata:
            “ Ya Allah ibu, masak anak ibu yang cantik ini mau di nikahkan dengan sapi, aku nggak mau bu dapat sapi aku maunya dapat Mas Imron.” Kata Anisah manja sambil bergelayut di pundak ibunya.
            “ Nis, kamu itu jangan bercanda, ini serius.” Timpal Pak Pramono.
            “ Pak…aku itu mau menikah dengan Mas Imron itu bukan karena sapi dan segala tetek bengeknya, tapi karena Mas Imron itu laki-laki yang baik, laki-laki yang soleh, bertanggung jawab.”
            “ Ia… ibu dan bapakmu ngerti tapi ibu tidak bisa menerima, kalau kamu benar-benar nggak dapat apa-apa dari calon suamimu.”
            “ Nggak dapat apa-apa gimana bu…?” Tanya Anisah kebingungan.
            “ Nis, anak gadis di kampung sini kalau mau menikah kurang dua minggu itu dari pihak mempelai laki-laki, itu selalu datang menyerahkan seserahan, kurang dua hari menyerahkan lamaran, lha kamu Nis?”
            “ Ibu…kebiasaan, budaya, tradisi dari satu daerah kedaerah lain itu berbeda…”
            “ Tapi Nis kalau saja kamu mau menerima lamaran Gunandi, ceritanya bakalan lain, bapaknya Gunandi itu kan teman akrab bapakmu, sudah tahu keadaan masing-masing, sapinya banyak…”
            “ Sapi lagi, ibu juga punya sapi banyak bu, kurang apa sih bu?”
            “ Nis, ibu itu sebenarnya malu dengan tetangga-tetangga, ibu itu selalu di undang ketika mereka mendapat seserahan, ataupun lamaran, ibu yang membuka oleh-oleh, mulai dari wajik, kue gemblong, pisang, ketan ijo, ibu selalu berharap kalau suatu saat anak ibu nanti menikah, juga akan mendapatkan oleh-oleh yang banyak, apalagi kamu itu satu-satunya harapan ibu, apa kata orang-orang nanti, sebenarnya waktu pertama kali keluarga calon suamimu Imron itu kesini ibu juga sudah di buat malu, kesini hanya membawa dua kotak roti bolu, sampai akhirnya ibu bingung sendiri mau di bagikan kemana roti itu, semua tetangga-tetangga ibu baik semua pada ibu, bila mereka mendapat oleh-oleh mau mantu ibu selalu di kirimi, bahkan ibu yang sering di kirimi pertama kali…”
            Kata-kata Bu Menik yang panjang seperti rel kereta api itu., membuat Nisah semakin tersudut, tidak mungkin Nisah akan mengatakan semua keluh kesah ibunya pada Imron, laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya, laki-laki yang baik agamanya yang sesuai dengan kriteria dalam islam.
            Pagi itu mentari bersinar dengan cerah semburat sinarnya serasa menghangatkan jiwa, Anisah menyiram bunga-bunga di depan rumah, orang-orang yang berjalan lalu-lalang, menyapanya sambil tersenyum, keramahan warga kampung yang membuat Anisah sering merindukan mereka.
            “ Lagi nyiram bunga ya mbak…?” sapa Kastyani tetangga samping rumahnya.
            “ Ia mbak…Mbak Kas kok pagi-pagi begini sudah cantik, memangnya mau kemana?” jawab Anisah menghentikan siraman air dari kran yang sudah dinanti bunga-bunga itu.
            “ Mau nyumbang, ke rumah Pak Jarwo, nyembelih sapi mbak, takut nggak kebagian.”
            “ Memang nyembelih berapa mbak?”
            “ Nyembelih dua mbak, tapi kata orang-orang sudah mau habis, tahu sendiri mbak, Pak Jarwo itu kan baru kali ini punya hajat, jadi tamunya ya berjubel, katanya sampai jam sepuluh  malam.”
            “ Sampai semalam itu masih ada tamu mbak?”
            “ Ia, eh ngomong-ngomong, Bu Menik juga mau nyembelih dua…apa tiga ya, kabarnya kok sudah santer .”
            “ Nggak tahu mbak itu kan urusan ibu…”
            “ Mbak nggak bisa membayangkan orang-orang yang berjubel pada antri nyumbang, Bu Menik itu kan orangnya nggak eman-eman kalau nyumbang, pasti yang nyumbang juga banyak.”
            Jangankan Mbak Kastiyani, Anisah saja sudah pusing memikirkan orang-orang yang pada mau nyumbang ketika hari pernikahannya kelak. Sudah terbayang dua ekor sapi yang di sembelih, kemudian di potong-potong kecil-kecil, di bungkus dengan daun jati,  lalu masih di bungkus lagi dengan janur daun kelapa, untuk menenteng, karena bungkusan itu akan diikat,lagi dengan jumlah lima, sepuluh, dua lima dan kelipatannya, satu bungkus kecil daging sapi itu di hargai dengan uang Rp 5.000 jadi kalau orang menyumbang dengan uang Rp 20.000 maka akan mendapat empat bungkus, begitupun dengan kelipatannya.
            Anehnya lagi orang yang nyumbang itu di catat dalam buku catatan khusus ada satu orang yang bertugas mencatat berapa uang sumbangan yang di berikan, amplop itu akan di buka langsung di hadapan si penyumbang tanpa malu-malu:
            “ Bu Karmini, Rp 25.000;…tangan yang punya hajat langsung mengambil satu ikat daging yang berjumlah 5, begitupun selanjutnya sampai daging benar-benar habis.”
            Pemandangan yang terlihat adalah laksana sebuah pasar daging, seorang penjual dengan menjual daging yang tidak semestinya bila 1 kilo gram daging seharga Rp 60.000; maka setelah diiris kecil-kecil maka bisa mencapai Rp 300.000;. berapa kali lipat uang yang di dapat, seperti ketika seorang yang punya hajat menyembelih sapi atau kerbau seharga Rp 8.000.000; maka setelah diiris-iris kecil bisa mencapai 4 kali lipatnya, tapi tunggu jangan senang dulu, ketika orang-orang yang menyumbang itu punya hajat maka orang terebut punya kewajiban untuk mengembalikannya, jika tidak ketika orang-orang tadi bertemu maka rasa malu itu akan merayapi sekujur tubuhnya katanya masih mending orang yang berhutang masih bisa di semayani atau di janjikan besok lagi tapi kalau nyumbang hari sudah berlalu maka yang ada adalah rasa malu, jadi Anisah sendiri tidak tahu dimana letak keikhlasaanya.
            Anisah tersadar dari lamunannya, ketika bapaknya datang dengan menuntun dua ekor sapi jantan yang gemuk-gemuk. Sapi-sapi yang rencananya akan di sembelih pada hari pernikahan Anisah.
            “ Jadi bapak benar-benar akan menyembelih sapi…?” Tanya Anisah pada bapaknya.
            “ Ya jelas mosso juragan sapi, mau mantu nggak nyembelih sapi mau di taruh di mana muka bapak ini, dikiranya bapak ini wong medhit, oh yo Nis, kamu itu kan anak ontang anting jadi dalam pernikahanmu itu harus di ruwat, bapak sudah bilang sama PaK lebe dan pak lurah kalau akan nanggap wayang semalam suntuk, di samping itu bapak juga akan nanggap campur sari, biar kamu seneng Nis, karena kamu anak bapak satu-satunya…”
            “ Apa ia harus nanggap wayang segala, apalagi di tambah campur sari…?”
            “ Ya harus Nis, kita tidak mau terjadi apa-apa dengan pernikahanmu nanti, pokoknya untuk pernikahanmu, ibu akan melakukan yang terbaik untuk pernikahan anak ibu satu-satunya.” Bu Menik tidak mau kalah memberikan komentarnya.
            “ Pak…kalau aku usul boleh nggak…?” Tanya Anisah hati-hati.
            “ Mau usul apa?” jawab bapaknya balik bertannya pula.
            “ Gimana kalau sapinya nggak usah di sembelih sekarang, tapi di sembelih saat idul adha saja…?”
            “ Maksudmu???” Tanya bapaknya sambil melebarkan jendela matanya.
            “ Ya pak sapinya buat berkurban saja…” kata Anisah lirih, namun sangat jelas di telinga Pak Pramono.
            “ Bapak tahu kamu itu sarjana, kamu pinter, tapi kamu tidak usah menggurui bapak soal berkurban, bapak sudah tahu semuanya, kalau kamu masih mau jadi anak bapak, kamu harus menuruti segala aturan yang bapak buat, biar kalau dari calon suamimu tidak membawa apa-apa kesini, bapak punya uang banyak untuk membuat pernikahanmu semeriah mungkin, sekali lagi kamu ingat Nis kamu itu anak juragan sapi…”
            Kepala Nisa seakan berputar-putar cepat melebihi cepatnya putaran kemidi putar, tidak tahu harus menjelaskan apa pada Imron calon suaminya yang notabene berasal dari keluaga sederhana yang mempertimbangkan segalanya dari segi baik dan buruknya.



                                    (Pekalongan 5 januari 2012, di tengah gerimis yang diam-diam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By