Dua minggu lagi adalah hari
pernikahan Anisah putri satu-satunya Bapak Pramono, juragan sapi yang sudah
terkenal, dari kampung ke kampung. Bukan hanya terkenal karena kekayaannya saja
melainkan terkenal karena, Pak Pramono di jadikan sesepuh desa, karena kebaikan
hatinya menolong orang-orang yang sedang kesusahan. Tidak di situ saja bila ada
warga kampung yang mau mengadakan hajatan ingin memotong kerbau atau sapi Pak
Pramono tidak segan-segan menjual sapi atau kerbau dengan bayaran di akhir
hajatan.
Cerpen " Pernikahan Ansah " |
Tradisi memotong kerbau atau sapi
memang sudah turun temurun dari nenek moyang, di kampung Kasocikal Doro, bila
ada hajatan, yang mengadakan hajatan itu orang kaya dan terpandang tidak segan-segan menyembelih hewan ternak
barang seekor atau dua ekor.
Rumah Pak Pramono sedikit
berantakan, karena baru renovasi sana-sini, maklum mau mantu, tembok dan
jendela baru saja selesai di cat, barang-barang yang telah usang diganti dengan
yang baru. Malam itu Pak Pramono terlihat gusar, karena dua minggu lagi Anisah
akan menikah, sedianya orang kampung seperti Pak Pramono yang mempunyai anak
perempuan bila akan menikah kurang dua minggu sudah ada acara seserahan, yaitu
datangnya keluarga calon mempelai pria ke rumah calon mempelai wanita, dengan
membawa uborampe atau perlengkapan untuk keperluan di hari pernikahan,
seperti segala sesuatu yang di butuhkan oleh wanita.
Ada seperangkat pakaian kebaya,
seperangkat pakaian dalam, tas, sepatu, sandal, alat-alat kosmetik, dan tidak
ketinggalan tentunya uang, untuk membayar penghulu, juru rias, dan lain
sebagainya, tidak ketinggalan pula seperangkat perhiasan, dari mulai kalung,
gelang, cincin, semua itu di berikan pada saat pernikahan kurang dua minggu,
khususnya bagi orang-orang kaya dan berada. Bu Menik tidak kalah gusarnya dari
tadi ia mondar-mandir dari dapur keruang tamu, dari ruang tamu kedapur, sampai-sampai
mata Pak Pramono lelah melihatnya, dan menyuruh istrinya itu untuk duduk.
“ Bu, lha mbok sini duduk di sini,
dari tadi mondar-mandir saja…”
“ Bapak ini seperti tidak tahu saja
bagaimana perasaan ibu ini, bayangkan pak, dua minggu lagi anak kita itu
bakalan menikah, tapi kok ya dari calon besan kita tidak ada tanda-tanda,
bakalan kesini, ini bagaimana to pak…?”
“ Memangnya ibu saja yang risau,
bapak juga, bapak tak kalah risaunya, sebenarnya keluarga Imron itu bagaimana
ya bu…?”
“ Mana ibu tahu,…?” jawab Bu Menik
singkat.
“ Anisah itu kan, anak kita satu-satunya,
anak juragan sapi terkondang di kampung ini, lha kok kalah sama Surtini anak
pembantu kita bu, kemarin waktu menikah dapat lamaran sapi, beras dua kwintal,
pisang dua keranjang, roti banyak sekali, sampai-sampai kiriman oleh-oleh dari
Mundrikah ibunya Surtini itu tidak habis di makan satu minggu.”
“ Ia… ya…pak, lha anak kita Anisah
itu kurangnya di mana? Sudah cantik, soleha, pinter, bahkan sudah sarjana, kok
kalah sama Surtini, apa kita batalkan saja pernikahan ini?”
“ Ngawur ibu ini, apa kita
tidak tambah malu, mosso anak juragan sapi Pramono gagal menikah.”
“ Tapi pak, kenapa anak kita yang
satu-satunya itu menikah nggak dapat sapi?”
Anisah yang mendengar kata-kata
ibunya tentang sapi, buru-buru keluar dari kamarnya,dan duduk di dekat ibunya
sambil berkata:
“ Ya Allah ibu, masak anak ibu yang
cantik ini mau di nikahkan dengan sapi, aku nggak mau bu dapat sapi aku maunya
dapat Mas Imron.” Kata Anisah manja sambil bergelayut di pundak ibunya.
“ Nis, kamu itu jangan bercanda, ini
serius.” Timpal Pak Pramono.
“ Pak…aku itu mau menikah dengan Mas
Imron itu bukan karena sapi dan segala tetek bengeknya, tapi karena Mas Imron
itu laki-laki yang baik, laki-laki yang soleh, bertanggung jawab.”
“ Ia… ibu dan bapakmu ngerti tapi
ibu tidak bisa menerima, kalau kamu benar-benar nggak dapat apa-apa dari calon
suamimu.”
“ Nggak dapat apa-apa gimana bu…?”
Tanya Anisah kebingungan.
“ Nis, anak gadis di kampung sini
kalau mau menikah kurang dua minggu itu dari pihak mempelai laki-laki, itu
selalu datang menyerahkan seserahan, kurang dua hari menyerahkan lamaran, lha
kamu Nis?”
“ Ibu…kebiasaan, budaya, tradisi
dari satu daerah kedaerah lain itu berbeda…”
“ Tapi Nis kalau saja kamu mau
menerima lamaran Gunandi, ceritanya bakalan lain, bapaknya Gunandi itu kan
teman akrab bapakmu, sudah tahu keadaan masing-masing, sapinya banyak…”
“ Sapi lagi, ibu juga punya sapi
banyak bu, kurang apa sih bu?”
“ Nis, ibu itu sebenarnya malu
dengan tetangga-tetangga, ibu itu selalu di undang ketika mereka mendapat seserahan,
ataupun lamaran, ibu yang membuka oleh-oleh, mulai dari wajik, kue gemblong,
pisang, ketan ijo, ibu selalu berharap kalau suatu saat anak ibu nanti menikah,
juga akan mendapatkan oleh-oleh yang banyak, apalagi kamu itu satu-satunya
harapan ibu, apa kata orang-orang nanti, sebenarnya waktu pertama kali keluarga
calon suamimu Imron itu kesini ibu juga sudah di buat malu, kesini hanya membawa
dua kotak roti bolu, sampai akhirnya ibu bingung sendiri mau di bagikan kemana
roti itu, semua tetangga-tetangga ibu baik semua pada ibu, bila mereka mendapat
oleh-oleh mau mantu ibu selalu di kirimi, bahkan ibu yang sering di kirimi
pertama kali…”
Kata-kata Bu Menik yang panjang
seperti rel kereta api itu., membuat Nisah semakin tersudut, tidak mungkin
Nisah akan mengatakan semua keluh kesah ibunya pada Imron, laki-laki yang
sebentar lagi akan menjadi suaminya, laki-laki yang baik agamanya yang sesuai
dengan kriteria dalam islam.
Pagi itu mentari bersinar dengan
cerah semburat sinarnya serasa menghangatkan jiwa, Anisah menyiram bunga-bunga
di depan rumah, orang-orang yang berjalan lalu-lalang, menyapanya sambil
tersenyum, keramahan warga kampung yang membuat Anisah sering merindukan
mereka.
“ Lagi nyiram bunga ya mbak…?” sapa
Kastyani tetangga samping rumahnya.
“ Ia mbak…Mbak Kas kok pagi-pagi
begini sudah cantik, memangnya mau kemana?” jawab Anisah menghentikan siraman
air dari kran yang sudah dinanti bunga-bunga itu.
“ Mau nyumbang, ke rumah Pak Jarwo,
nyembelih sapi mbak, takut nggak kebagian.”
“ Memang nyembelih berapa mbak?”
“ Nyembelih dua mbak, tapi kata
orang-orang sudah mau habis, tahu sendiri mbak, Pak Jarwo itu kan baru kali ini
punya hajat, jadi tamunya ya berjubel, katanya sampai jam sepuluh malam.”
“ Sampai semalam itu masih ada tamu
mbak?”
“ Ia, eh ngomong-ngomong, Bu
Menik juga mau nyembelih dua…apa tiga ya, kabarnya kok sudah santer .”
“ Nggak tahu mbak itu kan urusan
ibu…”
“ Mbak nggak bisa membayangkan
orang-orang yang berjubel pada antri nyumbang, Bu Menik itu kan orangnya nggak eman-eman
kalau nyumbang, pasti yang nyumbang juga banyak.”
Jangankan Mbak Kastiyani, Anisah
saja sudah pusing memikirkan orang-orang yang pada mau nyumbang ketika hari
pernikahannya kelak. Sudah terbayang dua ekor sapi yang di sembelih, kemudian
di potong-potong kecil-kecil, di bungkus dengan daun jati, lalu masih di bungkus lagi dengan janur daun
kelapa, untuk menenteng, karena bungkusan itu akan diikat,lagi dengan jumlah lima,
sepuluh, dua lima dan kelipatannya, satu bungkus kecil daging sapi itu di
hargai dengan uang Rp 5.000 jadi kalau orang menyumbang dengan uang Rp 20.000
maka akan mendapat empat bungkus, begitupun dengan kelipatannya.
Anehnya lagi orang yang nyumbang itu
di catat dalam buku catatan khusus ada satu orang yang bertugas mencatat berapa
uang sumbangan yang di berikan, amplop itu akan di buka langsung di hadapan si
penyumbang tanpa malu-malu:
“ Bu Karmini, Rp 25.000;…tangan yang
punya hajat langsung mengambil satu ikat daging yang berjumlah 5,
begitupun selanjutnya sampai daging benar-benar habis.”
Pemandangan yang terlihat adalah
laksana sebuah pasar daging, seorang penjual dengan menjual daging yang tidak
semestinya bila 1 kilo gram daging seharga Rp 60.000; maka setelah diiris
kecil-kecil maka bisa mencapai Rp 300.000;. berapa kali lipat uang yang di
dapat, seperti ketika seorang yang punya hajat menyembelih sapi atau kerbau
seharga Rp 8.000.000; maka setelah diiris-iris kecil bisa mencapai 4 kali
lipatnya, tapi tunggu jangan senang dulu, ketika orang-orang yang menyumbang
itu punya hajat maka orang terebut punya kewajiban untuk mengembalikannya, jika
tidak ketika orang-orang tadi bertemu maka rasa malu itu akan merayapi sekujur
tubuhnya katanya masih mending orang yang berhutang masih bisa di semayani atau
di janjikan besok lagi tapi kalau nyumbang hari sudah berlalu maka yang ada
adalah rasa malu, jadi Anisah sendiri tidak tahu dimana letak keikhlasaanya.
Anisah tersadar dari lamunannya,
ketika bapaknya datang dengan menuntun dua ekor sapi jantan yang gemuk-gemuk.
Sapi-sapi yang rencananya akan di sembelih pada hari pernikahan Anisah.
“ Jadi bapak benar-benar akan
menyembelih sapi…?” Tanya Anisah pada bapaknya.
“ Ya jelas mosso juragan
sapi, mau mantu nggak nyembelih sapi mau di taruh di mana muka bapak ini,
dikiranya bapak ini wong medhit, oh yo Nis, kamu itu kan anak ontang
anting jadi dalam pernikahanmu itu harus di ruwat, bapak sudah bilang sama
PaK lebe dan pak lurah kalau akan nanggap wayang semalam suntuk, di samping itu
bapak juga akan nanggap campur sari, biar kamu seneng Nis, karena kamu anak
bapak satu-satunya…”
“ Apa ia harus nanggap wayang
segala, apalagi di tambah campur sari…?”
“ Ya harus Nis, kita tidak mau
terjadi apa-apa dengan pernikahanmu nanti, pokoknya untuk pernikahanmu, ibu
akan melakukan yang terbaik untuk pernikahan anak ibu satu-satunya.” Bu Menik
tidak mau kalah memberikan komentarnya.
“ Pak…kalau aku usul boleh nggak…?”
Tanya Anisah hati-hati.
“ Mau usul apa?” jawab bapaknya
balik bertannya pula.
“ Gimana kalau sapinya nggak usah di
sembelih sekarang, tapi di sembelih saat idul adha saja…?”
“ Maksudmu???” Tanya bapaknya sambil
melebarkan jendela matanya.
“ Ya pak sapinya buat berkurban
saja…” kata Anisah lirih, namun sangat jelas di telinga Pak Pramono.
“ Bapak tahu kamu itu sarjana, kamu
pinter, tapi kamu tidak usah menggurui bapak soal berkurban, bapak sudah tahu
semuanya, kalau kamu masih mau jadi anak bapak, kamu harus menuruti segala
aturan yang bapak buat, biar kalau dari calon suamimu tidak membawa apa-apa
kesini, bapak punya uang banyak untuk membuat pernikahanmu semeriah mungkin,
sekali lagi kamu ingat Nis kamu itu anak juragan sapi…”
Kepala Nisa seakan berputar-putar
cepat melebihi cepatnya putaran kemidi putar, tidak tahu harus menjelaskan apa
pada Imron calon suaminya yang notabene berasal dari keluaga sederhana yang
mempertimbangkan segalanya dari segi baik dan buruknya.
(Pekalongan
5 januari 2012, di tengah gerimis yang diam-diam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar